JAKARTA
- Prof Ronnie Rusli membela Menko Maritim Rizal Ramli soal pula listrik
prabayar PT PLN. Menurut analis ekonomi industri ini, Faisal Basri
salah asumsi sehingga yang benar adalah Rizal Ramli.
"Faisal
Basri is wrong, Faisal Basri salah. Sistem pra bayar, kontrol utamanya
ada pada kode-kode di slip pulsa dan tidak bisa diketahui jumlah
pemakaiannya," kata Ronnie Rusli, dosen Universitas Indonesia, di
Jakarta Selasa (8/9).
Ronnie
mengatakan, pulsa prabayar PLN, bukan seperti pada meteran pelanggan
lagi. Sebagai ilustrasi ketika pelanggan membayar Rp100 ribu, misalnya,
dan hanya dapat menikmati listrik senilai Rp 95 ribu, kontrol ada pada
konfigurasi kode di slip pulsa.
"Pelanggan harus pasrah saja ketika ia hanya menikmati listrik seharga Rp 95 ribu dan bukan Rp100 ribu," jelasnya.
Menurut
PLN, bagi pengguna pulsa listrik prabayar, memang ada biaya yang harus
dikeluarkan, yaitu biaya administrasi bank sekitar Rp1.600. Yang menjadi
masalah utama, atas dasar apa bank mengenakan tarif sejumlah itu? Kalau
tarif kWh saja diatur oleh negara, kenapa tarif administrasi bank itu
tidak diatur oleh negara?
"Konsumen
hanya di-fait-accomply untuk membayar sejumlah tarif administrasi bank
berdasarkan kesepakatan antara pihak bank dan PLN," tukasnya.
Ini
menjadi masalah besar ketika pelanggan listrik adalah orang miskin
biasanya membeli pulsa listrik secara eceran dan beberapa kali, jadi
orang miskin dikenakan biaya administrasi bank beberapa kali, sedangkan
orang kaya yang bisa membeli pulsa listrik langsung untuk kebutuhan satu
bulan dan hanya membayar biaya administrasi bank 1 kali.
Sementara
itu, orang miskin akan membeli pulsa listrik setiap minggu. Akhirnya,
orang miskin dikenakan biaya administrasi bank 4 kali dari orang kaya.
Permasalahan
ke dua, pelanggan tidak pernah tahu berapa kWh yang layak diterimanya
dari jumlah yang dibelinya di slip pulsa. Ia hanya tahu bahwa ia harus
membeli lagi ketika ada bunyi sinyal dari meteran listriknya.
Menurut
Ronnie, posisi bargaining pelanggan pada pulsa listrik pra bayar,
lemah. Pelanggan hanya bisa pasrah atas estimasi jumlah kWh yang
diberikan oleh slip pulsa, yang dia tidak tahu jumah pemakaiannya.
Karena,
ketika penyedia jasa mengubah tarif melalui konfigurasi kode pada slip
bayar, pelanggan berada pada posisi yang lemah dan menerima begitu saja.
Sistem
prabayar ini rentan bagi orang miskin ketika tarif listrik berubah.
Misalnya Rp 100 ribu saat ini cukup untuk membeli 71 kWh. Kemudian, ada
kebijakan perubahan tarif dari pemerintah/PLN mulai bulan depan Rp100
ribu hanya cukup untuk membeli 65 kWh.
Karena
kontrol tarif bukan lagi di alat meteran, tetapi pada kode-kode di
pulsa, orang kaya bisa menimbun dengan membeli pulsa sebanyak-banyaknya
dan baru dipakai kemudian.
Artinya,
orang kaya bisa membayar dengan tarif lama di bulan berikutnya,
sementara itu orang miskin akan menggunakan listrik dengan tarif baru.
Siapa
yang menetapkan tarif administrasi bank sejumlah itu? Kenapa tarifnya
sejumlah itu? Siapa pula yang diuntungkan dari biaya administrasi itu?
Selama ini, pendapatan dari administrasi bank ini adalah pasar gelap
(black market) dan menguntungkan pihak-pihak tertentu saja.
"Kita
tidak tahu bahwa biaya administrasi bank itu sudah memperkaya korporasi
provider sistem data exchange bank, yang kita pun tidak mengenal siapa
mereka itu dan tidak jelas proses seleksinya. Inilah sebenarnya yang
dimaksud sebagai mafia pulsa," pungkas Ronnie Rusli. (dd)
Komentar